Kasus Marga Mahuze Kewam asal Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, yang menggugat perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bio Inti Agrindo (BIA) di Pengadilan Negeri Merauke karena diduga merampas tanah yang diklaim milik suku merupakan isu yang signifikan dan kontroversial di Indonesia. Lahan seluas 1.800 hektar di Desa Bundil, Dusun Mandekman, Distrik Ulilin telah digunakan untuk budidaya kelapa sawit sejak tahun 2007, sehingga menimbulkan sengketa hukum antara Marga Mahuze Kewam dan perusahaan perkebunan.
Kaitanus Mogahai, juru bicara penggugat menyoroti inti gugatan adalah soal kepemilikan lahan seluas 1.800 hektare yang diklaim Marga Milafo dilepas ke PT BIA tanpa persetujuan Marga Kewam pada 2007. Lahan tersebut kemudian digunakan untuk perkebunan kelapa sawit tanpa izin dari pemilik yang sah.
Hak atas tanah di Papua menambah kompleksitas kasus ini. Masyarakat adat Papua telah lama berjuang untuk mempertahankan kendali atas tanah mereka, menghadapi perambahan oleh perusahaan yang didukung pemerintah untuk mengambil sumber daya. Pengambilalihan lahan secara paksa untuk perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan degradasi lingkungan, gangguan terhadap wilayah leluhur, dan konflik antar masyarakat adat.
Gugatan yang diajukan Marga Mahuze Kewam menandakan perlawanan terhadap perampasan tanah dan tuntutan pengakuan hak adat atas tanah. Hal ini menyoroti pentingnya menghormati sistem kepemilikan tanah adat dan mencari persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari masyarakat adat sebelum proyek pengembangan lahan dimulai. Kasus ini berpotensi menjadi preseden perselisihan di masa depan mengenai hak atas tanah dan kedaulatan masyarakat adat di Indonesia.
Keterlibatan perusahaan-perusahaan besar dalam sengketa pertanahan seringkali menghadirkan tantangan bagi masyarakat adat dalam mencari keadilan. PT BIA, sebagai perusahaan kelapa sawit yang sudah mapan, mungkin memiliki sumber daya dan pengaruh untuk mempengaruhi keputusan hukum yang menguntungkan mereka. Jaringan kepentingan yang kompleks yang terlibat dalam industri kelapa sawit, termasuk pejabat pemerintah, pemerintah daerah, dan investor, dapat menciptakan hambatan bagi masyarakat adat yang terpinggirkan dalam mencari ganti rugi atas pelanggaran hak atas tanah.
Hasil dari tuntutan hukum ini dapat mempunyai konsekuensi yang luas bagi advokasi hak-hak masyarakat adat atas tanah di Indonesia. Jika Marga Mahuze Kewam menang dalam perjuangan mereka melawan PT BIA, hal ini dapat menjadi preseden bagi kelompok masyarakat adat lainnya untuk menentang perambahan lahan dan menuntut keadilan atas keluhan mereka di masa lalu. Namun, jika perusahaan kelapa sawit menang, hal ini mungkin menandakan kemunduran dalam pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan melanggengkan siklus perampasan tanah dan eksploitasi lingkungan di Papua.
Pertarungan hukum antara Marga Mahuze Kewam dan PT BIA atas dugaan insiden perampasan tanah menggarisbawahi dinamika kekuasaan yang terjadi di industri kelapa sawit di Indonesia. Kasus ini menyoroti pentingnya menjunjung tinggi hak masyarakat adat atas tanah, mendorong kelestarian lingkungan, dan mencari keadilan bagi masyarakat marginal yang terkena dampak sengketa tanah. Hasil dari tuntutan hukum ini akan berdampak pada seluruh aspek hukum di Indonesia, sehingga mempengaruhi keputusan di masa depan mengenai hak atas tanah dan ekstraksi sumber daya di wilayah adat.